Dengan tema Digital Ekonomi; Tantangan dan Peluang dari sisi regulasi, ekonomi, sosial budaya dan sosialisasi pengelolaan Program Sosial Bank Indonesia (PSB)
Ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang dan membawa perubahan pada dunia. Kehadiran disruptif teknologi yang begitu cepat menjadi ancaman bagi perusahaan-perusahaan yang sudah ada. Tidak hanya itu, disruptif teknologi juga mengakibatkan pergeseran paradigma masyarakat yang berorientasi pada teknologi sehingga mengubah kebutuhan dasar manusia. Pengguna internet di Indoneisa mengalami perkembangan yang pesat. Saat ini jumlah pengguna internet mencapai 51% dari penduduk Indonesia dan sebanyak 92 juta adalah pengguna telepon seluler. Semakin berkembang dan mudahnya masyarakat mengakses internet memberikan sinyal bahwa era internet of things akan segera masuk, dimana semua hal dapat dilakukan atau dipenuhi melalui internet.
Sehubungan dengan kondisi diatas, Bank Indonesia (BI) bekerjasama dengan Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Indonesia (AFEBI) menggelar acara round table discussion dengan tema, Digital Ekonomi; Tantangan dan Peluang dari sisi regulasi, ekonomi, sosial budaya dan sosialisasi pengelolaan Program Sosial Bank Indonesia (PSBI). Acara tersebut diselenggrakan di Kantor perwakilan Bank Indonesia (KPWBI) Provinsi Jawa Tengah beralamat di Jl. Imam Bardjo SH No. 4 Semarang dari tanggal 4-5 April 2018 yang dihadiri oleh para dekan dan dosen dari 73 Fakultas Ekonomi Bisnis seluruh Indonesia. FEB Untirta diwakili oleh Agus David Ramdansyah, Ph.D dan Dr. Kuswantoro.
Dalam pemaparannya mengenai virtual currency, Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran (DKSP) BI Ida Nuryanti mengatakan bahwa sejak dikeluarkannya pelarangan dari BI, jumlah pengguna Bitcoin turun drastis dari sekitar satu juga pengguna sekarang tinggal 300 orang pengguna. Ditambahkannya, tren tersebut akan terus menurun seiring dengan turunnya harga mata uang virtual tersebut. Saat ini harga Bitcoin juga turun drastis dari posisi Rp251 juta/satu Bitcoin, dalam minggu-minggu ini hanya sekitar Rp120-an juta/satu Bitcoin dan kemungkinan akan susah untuk bisa naik lagi.
Pelarangan pada mata uang virtual tersebut berdasarkan hasil pengawasan dan pertimbangan diantaranya, BI menilai bahwa transaksi denga virtual currency tidak transparan, tidak ada nama penerima sehingga tidak bisa di-‘tracking’, dan tidak ada aspek perlindungan konsumen. Artinya bahwa apabila terjadi transaksi penipuan dalam penggunaan Bitcoin tidak ada kejelasan konsumen harus mengadu kepada siapa walapun sejauh ini belum sampai pada kasus yang merugikan konsumen.
Agusman, kepala Departemen Komunikasi BI menambahkan tentang perlunya sosialisasi kepada masyarakat mengenai semakin pentingnya ekonomi digital dalam sistem dan kegiatan perekonomian. Sebagai bank sentral sesuai kewenangannya di bidang moneter, sistem pembayaran, dan makro prudential, BI ingin ekonomi digital semakin maju terus, termasuk, mengantisipasi risiko-risiko yang mungkin muncul.
Red_